Kematian Demokrasi Indonesia
Kematian Demokrasi Indonesia

Tidak mudah mencarikan judul yang tepat untuk menumpahkan isi kepala
dalam tulisan ini. Mungkin tulisan ini belum dapat mengakomodir atau
memberikan gambaran substansi yang lebih dapat diterima umum. Disebabkan
beda sifat dan karakter persoalannya. Sebagai seorang yang mendalami
hukum tata negara, secara moral akademik memikul tanggungjawab besar
terhadap terselenggaranya hukum dan pemerintahan negara dengan baik.
Sebagai seorang yang terlahir dari "rahim" universitas, saya menyimpan
kerisauan sangat besar melihat betapa amatirnya sekelompok orang yang
berkuasa menyelenggarakan negara ini.
Ada beberapa hal yang menjadi penyakit menyebabkan matinya demokrasi di negara ini, kesemuanya itu secara umum menginduk kepada:
1). kesombongan penguasa;
2). Tidak cakap untuk mengelola negara sehingga pemerintahan negara ahirnya amatiran seperti sekarang ini;
3). Bermental tertutup (terbelakang, kolot, kuno, atau dapat kita sebut primitif). Jargon revolusi mental itu tidak ada, yang ada keterbelakangan mental.
2). Tidak cakap untuk mengelola negara sehingga pemerintahan negara ahirnya amatiran seperti sekarang ini;
3). Bermental tertutup (terbelakang, kolot, kuno, atau dapat kita sebut primitif). Jargon revolusi mental itu tidak ada, yang ada keterbelakangan mental.
1). Kesombongan itu telah menciptakan
banyak masalah yang menyusahkan "rakyat yang berpikir". Contoh paling
konkret dari watak sombong ini adalah:
- seorang Menteri berkata, " jika harga beras naik silahkan tanam padi sendiri!". Dia juga berkata, "jika harga cabe naik, silahkan tanam cabe sendiri".
- seorang Menteri lain berkata di depan masyarakat miskin, "jika harga beras naik, maka masyarakat miskin harus berhemat. Jika biasanya makan 3 x sehari, kurangi jadi 2 x sehari".
- seorang Menteri berkata, " jika harga beras naik silahkan tanam padi sendiri!". Dia juga berkata, "jika harga cabe naik, silahkan tanam cabe sendiri".
- seorang Menteri lain berkata di depan masyarakat miskin, "jika harga beras naik, maka masyarakat miskin harus berhemat. Jika biasanya makan 3 x sehari, kurangi jadi 2 x sehari".
- turunan lain dari watak sombong itu
adalah merasa paling benar. Apapun yang dilakukan,
dibicarakan/disampaikan, ditunjukkan oleh penguasa semuanya adalah
kebenaran. Semuanya sungguh baik dan benar adanya. Setiap kebenaran itu
menuntut kepatuhan warganegara. Singkatnya, penguasa hari ini memonopoli
kebenaran secara total.
HTI dianggap buruk lalu dibubarkan
semena-mena, Menteri Agama meminta masyarakat hormati dan toleran
terhadap LGBT, setiap mubaligh mesti di data dan ditentukan harus
ngomong apa dalam ceramah-ceramahnya, pesantren dianggap sarang
radikalisme maka Ketum PDIP mengatakan pesantren di seluruh Indonesia
harus dibubarkan/ditutup.
Hapus pendidikan agama di
sekolah-sekolah umum, institusi pendidikan harus bersih dari yang berbau
agama. Agama yang dimaksudkan itu adalah Islam, hanya Islam. Jangan
bawa-bawa agama kedalam politik, tidak ada kaitannya agama itu (Islam)
dengan politik, agama (Islam) dan negara harus dipisah. Negara harus
lepas dari intervensi agama (sekuler mutlak).
Di lain pihak
ternyata sangat ramah dan membuka pintu terhadap liberalisme, dan atheis
(komunis). Selain itu membatasi calon presiden dan wakil presiden
dengan cara yang sangat tidak beradab dan itu seperti menghujamkan
pedang ke perut demokasi.
Mengaku paling pancasila, tapi
praktiknya anti pancasila, menuduh kelompok yang bersebrangan dengan
dirinya dengan sebutan anti kebhinekaan, anti NKRI, mau merobohkan NKRI,
praktiknya itu semua kembali kepada yang menuduh tidak karu-karuan.
2). Tidak cakap untuk mengelola negara. Terutama disini dalam hal
intelektualitas (kecerdasan yang berbasis keilmuan akademik). Tidak juga
saya hendak mengatakan bahwa tak seorangpun kelompok yang sedang
berkuasa sekarang goblok semua. Justru persoalannya sekarang adalah
intelektualitas diketepikan, disingkirkan, digeser dan kepentingan lah
yang selalu dikedepankan.
Jadi bergeraknya penyelenggara negara
tidak menunjukkan bekerjanya otak untuk menjalankan tugas dan kewenangan
untuk kemaslahatan rakyat. Maka lahirlah kebijakan pro asing,
menyengsarakan rakyat, sikap acuh. Apalagi sejak awal rezim ini memang
tidak memiliki kewibawaan dalam menyelesaikan konflik sosial-agama
ditengah masyarakat. Tidak tampak ada suatu langkah nyata yang diambil
oleh Presiden.
Sangat disayangkan, seorang Presiden dengan
kekuasaan yang begitu besar tidak paham apa yang mesti dilakukannya.
Diamnya Presiden melihat lebarnya jurang permusuhan ditengah rakyat
telah menjelma menjadi sebuah ajaran politik bahwa Presiden menyetujui
itu terjadi.
Mirisnya lagi ahir-ahir ini, institusi penegak hukum yang satu mengintervensi institusi penegak hukum lain.
Ketika KPK menetapkan calon kepala daerah di Jawa barat sebagai
tersangka dan akan terus diproses hukum, tiba-tiba Kapolri meminta KPK
agar mengentikan dulu buat sementara sampai pilkada usai.
Tidak
hanya Kapolri, tapi Jaksa Agung dan Menko polhukam Wiranto juga sama.
Kita dibuat bertanya-tanyapa, dibalik ini semua ada apa?, sebab kita tau
calon yang ditetapkan tersangka oleh KPK itu berasal dari dan diusung
oleh PDIP (partai yang sedang berkuasa).
Sudahlah kita terbuka
saja, publik juga sudah tau bahwa borok PDIP sudah terlalu banyak,
dibalik kriminalisasi ulama, pembubaran HTI, semua kesombongan para
menteri dan sikap blunder Menteri Agama semua itu muaranya ke PDIP.
Mereka itu bukan menyuarakan aspirasi rakyat, tapi aspirasi PDIP sebagai
partai sekuler-liberal anti Islam.
Hukum Islam mereka anti,
tapi terhadap simbol-simbol Islam mereka tidak anti. Kita bisa liat
menjelang Pilpres dan Pilkada, tokoh-tokoh PDIP termasuk calon yang
diusung oleh PDIP.
Mulai dari Presiden Jokowi, para menteri,
Ketum PDIP Megawati, calon kepala daerah yang diusung PDIP rame-rame
pakai sorban, jubah, (pakaian kebesaran umat Islam), kebaya, berjilbab
sebelumnya tidak pernah kenal dengan jilbab, dekati ulama, acara-acara
bernuansa keagamaan dan sebagainya.
3). Bermental tertutup. Ini
ditandai oleh beberapa hal yaitu anti kritik. Walaupun berkali x
disampaikan bahwa pemerintah tidak anti kritik, tapi realitas yang
dipertontonkan adalah sangat anti kritik.
Mana-mana kritik yang
dianggap merugikan kepentingan rezim, merusak citra rezim sehingga akan
menghalangi untuk berkuasa kembali periode berikutnya maka semua harus
dibungkam.
Dan rezim punya banyak media yang dari awal sengaja
di ciptakan untuk mengimbangi hujan kritik. Media seperti Kompas TV,
Metro TV, Merdeka. com, kiranya sulit dibantah pemberitaannya selalu
berpihak kepada rezim. Seakan buta sama sekali terhadap gejolak
kebencian sebagian besar rakyat sebab sembrono, sombong dan acuhnya
rezim ini.
Tidak anti kritik, tapi kita lihat di media sudah
banyak yang dipenjarakan akibat mengkritik pemerintah, tokoh-tokoh
politik sekuler-liberal. Ditambah beberapa pasal dalam UU No. 17 Tahun
2014 mempolitisir kebebasan berpendapat.
Ini semua penyakit yang
menyebabkan matinya demokrasi di Negara ini, tidak dapat dicarikan
obatnya, tidak ada obatnya kecuali #2019 Ganti Presiden.
sekian terimakasih
Baca selengkapnya »